Serba-serbi Setahun Pernikahan

 Bulan lalu suami mengunjungi saya ke Bangkok, dalam rangka kangen-kangenan sekaligus merayakan setahun pernikahan kami. Gak nyangka pas saya telepon keluarga, bude saya nyeletuk, "Yaampun kamu ditipu ya (sebut nama suami) sama istrimu, habis nikahan ditinggal pergi."

Beberapa kali suami saya juga ngambek dalam setahun saya tinggal sekolah lagi. Soalnya dia beberapa kali ketemu teman, (bisa disebut) guru/ senior spiritual dan orang gak akrab sekalipun, gara-gara mereka nyeletuk, "kasihan habis banyak buat pesta-pestaan cuma buat ditinggal jauh-jauhan." Ada juga yang bilang bahwa saling mencintai gak perlu berkorban sebegitunya. Intinya orang tersebut ingin bilang mengapa kamu nekad menikah hanya untuk ditinggal pergi. Sebenarnya saya pengen tahu juga respon orang-orang kalau misal yang pergi jauh itu kebalikannya, bukan saya, melainkan suami.

Balik lagi ke serba-serbi pernikahan selama setahun ini, rasanya ya nano-nano. Tapi banyak hal yang bisa dipelajari dari pernikahan yang masih seumur jagung ini antara lain belajar memanajemen ekspektasi, keuangan, emosi dan merencanakan Happy-happy.

Foto Pemberkatan kami


1. Manajemen Ekspektasi

Saya selalu yakin pernikahan itu bukan hanya soal bisa berhubungan seksual secara bebas dan gratis. Atau hidup dengan nyaman karena suami menghasilkan uang, dan ada istri yang menyiapkan makanan, bersih-bersih dan laundry gratis. Banyak hal lain yang perlu dipertanggungjawabkan dan bisa dilakukan untuk saling mengisi. Bukan hanya perihal domestik itu saja, tapi juga soal seberapa ingin terlibat pasangan di luar hal-hal itu.

Untuk kondisi saya yang pacaran LDR selama setahun memang gak sempat membahas apa saja ekspektasi-ekspektasi suami soal pernikahan, dan saya juga tidak membuka semua keinginan saya. Di awal suami saya pernah menyatakan untuk mendukung saya yang ingin berkarir, oleh karena itu ketika saya menerima beasiswa dari universitas luar negeri beliau menyatakan mendukung saya. Tapi setelah saya nekad, ternyata pernyataan suami kok agak beda. Tapi yah, terus terang, saling berjauh-jauhan itu memang berat. Saya memahami ini, hanya saja untuk mundur itu juga sulit, kami mensiasati dengan melihat lebih jauh kedepan. Rencana yang saya tempuh ini juga bagian dari mewujudkan cita-cita kami yang lebih besar.

Kedua, sejak awal suami menginginkan segera memiliki momongan karena usia kami sudah cukup tua. Saya tidak menolak ini, meskipun saya menempuh studi nan jauh disini, saya tidak masalah jika harus mengandung dan melahirkan. Tetapi kondisinya, sebelum pernikahan kami tidak melakukan preparing program hamil. Saya pernah berencana cek ke Obgyn sebelum menikah, tapi waktu itu kondisinya dari segi biaya pas-pasan akhirnya saya tunda. Setelah menikah-pun kami sempat LDM Batu-Bali sekitar 3 mingguan, alhasil ketika kami bersama itu gak sesuai dengan kalender kesuburan saya. Sampai akhirnya kemarin ketemu pun, ternyata kalender saya tidak bisa disesuaikan. Bagi suami saya ini agak sulit diterima, tapi ya bagaimana lagi, sekali lagi kami berkompromi dengan memikirkan hal-hal yang lebih urgen lagi.

Merayakan setahun pernikahan


2. Manajemen Keuangan

Pasca menikah keungan kami cukup awut-awutan. Sebenarnya kalau menurut saya rejeki terus ada aja, hanya mungkin kami yang belum terlatih untuk memanajemen keungan buat sepasang (dua orang). Disamping masih ada tanggungan-tanggungan dari sebelum menikah, kami juga beberapa kali harus melakukan perjalanan lintas Provinsi Jatim - Bali, saya sempat bepergian ke Krabi dan Chiang Mai, dan juga bulan lalu suami sempat ke Bangkok. Ditambah lagi gaya hidup masih versi single, karena ya kami posisinya saling berjauhan, terkadang kalau diserang kesedihan kami butuh sesuatu yang menghibur. Hiburan kami tidak mahal-mahal amat, hanya butuh extra-gula kayak Thai tea, atau ngopi-ngopi cantik sesekali. Hanya kalau diakumulasi ternyata cukup menguras kantong. Satu tahun ini benar-benar harus melalui survival living buat manajemen keuangan, semoga segera normal kembali.

3. Manajemen Emosi

Saya dan suami memiliki tipikal emosi yang sama-sama cepat naik turun. Hanya saja pemicu moody saya disini tidak terlalu banyak, sehingga mungkin hanya jika merasa kesepian atau ada masalah dengan rencana study aja yang membuat saya kadang membutuhkan perhatian lebih. Suami tipikal pengen mengoreksi banyak hal disekitarnya, sebenarnya mungkin karena selow banget kurang banyak yang diurusi. Jadi energinya mudah habis dan moodnya bisa sering berubah. Dalam banyak hal dia sering menyebalkan untuk posisi kami yang berjauh-jauhan. Ini cukup bikin cek-cok, hanya yah kami seringkali harus ganti-gantian mengingatkan soal manajemen emosi ini

Love


4. Merencanakan Happy-happy

Terus terang ini masih belum terlalu dapat kami realisasikan. Untuk rencana happy-happy terakhir kali ya pertemuan bulan lalu. Tentu saja membahagiakan bertemu suami kembali setelah hampir satu tahun berpisah. Kami berkeliling Bangkok, karena budget kami gak cukup untuk bepergian ke luar Bangkok seperti Chiang Mai, even Huahin ataupun Pattaya sesuai rencana awal kami. Ya sudah kami hanya mengunjungi beberapa Vihara di Bangkok, pindah makan sana-sini dan mampir beberapa Mall cuma buat cari titipan yang gak dapat atau hanya duduk-duduk. Kebahagiaan ini bersyarat tentu saja, cuma yah yang penting update an IG tampak bahagia, 5555.


Setahun ini kami seperti anak sekolah dasar yang baru belajar huruf, berhitung, mengeja, seperti itulah, semoga kelas kedua kami sudah bisa lebih lancar lagi membaca ataupun berhitung untuk semua rencana.


Love,

happy

Komentar

Postingan Populer