Cara Survive dalam Melalui Masa Berkabung
Dulu saya gak percaya, nenek melalui hari-hari bersedih hampir sepuluh tahun setelah kepergian kakekku.
Setelah mengalami sendiri
pasca-kepergian bapak, aku baru paham orang bisa melalui masa berkabung
sepanjang ini. Saya melaluinya lebih dari sepuluh tahun, sungguh saya hanya
manusia biasa yang penuh kemelekatan. Waktu sepanjang itu benar-benar sangat
menguras semua energi dan perasaan. Hari ini seorang teman memposting konten
soal how to deal with grieving period, saya baru ingat ayahnya meninggal awal
tahun lalu. Saya cukup dekat dengan teman ini, pernah satu project bareng dan
mempunyai banyak kemiripan nasib saat ini. Saya cukup paham bagaimana melalui
ini di tahun-tahun pertama, sulit, sungguh sulit.
Berikut ini cara saya
survive melalui masa berkabung, bukan cara yang paling ampuh, tapi paling tidak
ini cukup membantu mengalihkan energi-energi menjadi lebih bermanfaat.
1.
Membuat Catatan
Saya
tipikal melankolis dan sangat peka dengan hal-hal yang terjadi di sekitar.
Emosi saya bisa segera terpancing, tetapi juga cepat mereda, bisa dikatakan
moody. Saya juga mudah sedih dengan hal-hal tidak menyenangkan yang melibatkan
orang-orang di sekitar saya, hal ini juga membuat saya sering overthinking
sejak dini. Orang tidak mudah menghadapi saya dengan sifat yang merepotkan
seperti ini, tapi bapak sangat peka dengan sifat saya satu ini. Ketika bapak
tidak ada, saya kehilangan perhatian-perhatian kecil tersebut dan merasa tidak
punya lagi seseorang yang bisa mendengarkan sebaik bapak.
Di
awal-awal saya kehilangan bapak, saya ingat sekali, untuk meluapkan apa yang
saya rasakan setiap hari, saya menulis apa saja dalam jurnal dan catatan di
potongan-potongan kertas. Saya menulis semua hal yang tak mampu saya tampung dan
ingin saya adukan kepada bapak. Lalu saya akan menempelnya di sembarang tempat,
di sekitar ruang tidur saya.
Dua
tahun awal sangat membantu, terutama karena saya waktu itu kesulitan bercerita
tentang hari-hari sedih kepada keluarga yang merasakan sama-sama kehilangan.
2.
Mencari Support System
Bapak
pergi Ketika saya menjelang semester lima di perguruan tinggi. Saya yang tidak
pernah dibekali dengan skill mencari uang saat itu merasa sangat bersedih. Saya
yang seharusnya sudah cukup dewasa untuk mandiri, tetapi kenyataannya sama sekali
tidak dapat membantu Ibu.
Kesedihan
saya buka lagi hanya kehilangan, tetapi juga telah menjadi beban keluarga. Tetapi
syukurnya saat itu saya aktif di organisasi mahasiswa yang menjadi distraksi
saya mengatasi itu. Saya mengasah diri belajar menulis dan berorganisasi. Sehari-hari
dipenuhi kesibukan kampus dan organisasi benar-benar bisa mengalihkan perhatian
saya.
Sesekali
juga senior meminta bantuan untuk menjadi note-taker pada pelatihan ataupun
diskusi. Seorang teman yang kebetulan dipercaya mengelola rubrik majalah juga
beberapa kali menawari saya untuk menulis artikel. Penghasilannya saat itu tidak
seberapa, tapi setidaknya menemukan support system yang tepat membuat saya
lebih percaya diri menghadapi hari-hari tanpa bapak.
3.
Membantu Orang Lain
Tiga
tahun setelah kepergian bapak, adik lulus dari sekolah menengah, seorang sepupu
juga telah lulus sekolah menengah. Entah ide gila darimana, saya menawarkan
sepupu ini untuk mengambil kuliah saja di Bali. Waktu itu saya sendiri yang memberikan
janji-janji busuk pada orang tuanya dengan bermaksud meyakinkannya. Akhirnya
keluarganya setuju dia kuliah di Bali, orang tuanya membiayai biaya semesterannya dan
menyerahkan tanggungan hidup sehari-harinya pada keluarga saya.
Ibu
saya tidak bisa menolak waktu itu, padahal kami sendiri juga sedang kesulitan
secara ekonomi. Tapi keputusan kami waktu itu tidak pernah kami sesali, sepupu
ini akhirnya memberikan warna pada hari-hari kami di rumah. Pembawaannya yang
ceria dan mudah beradaptasi telah menyatukan ibu, adik dan saya. Kami yang
awalnya sama-sama kesepian, pelan-pelan telah dipenuhi perasaan-perasaan hidup kembali
berkat dia. Sesekali kami jengkel pada dia, tapi dia juga yang bisa mengembalikan
komunikasi saya dengan ibu dan adik. Dia juga yang waktu itu akhirnya sering menggantikan
peran saya menolong ibu.
Bantuan
yang kami berikan tidak besar, tapi berkat niat baik sejak awal, ternyata dia
sendiri juga telah berperan memberikan support psikologis pada kami sekeluarga.
4.
Membuat diri Merasa Berharga
Saya
pernah mendengar di satu ceramah, sebenarnya hal-hal yang membuat kita sedih Ketika
kehilangan itu bukan sosoknya. Karena kita terlalu bergantung padanya dan
khawatir dengan kehidupan kita sendiri setelah ditinggalkannya. Hal tersebut
bisa saya amini.
Pasca
bapak pergi, saya berusaha mencoba banyak hal. Awalnya memang karena khawatir tentang
masa depan yang sangat tidak pasti. Tapi lama-lama perasaan merasa dihargai
membuat saya memang lebih percaya diri ketika saya sedang mengusahakan sesuatu.
Saya mulanya hanya mengikuti lomba-lomba menulis, hanya menang sekali dua kali
tapi cukup bangga. Kemudian juga mulai belajar kemampuan bahasa dan menulis secara
serius. Mencoba berbagai pekerjaan yang menjadi minat saya, dan juga mencoba
banyak beasiswa. Semuanya tak serta-merta menunjukkan hasil yang bagus, tapi
senang saja sudah berjuang untuk diri sendiri dan tak menggantungkan diri pada
siapapun lagi.
Pada
akhirnya semua hal diatas hanya bentuk-bentuk distraksi, hal yang paling
menentukan panjang tidaknya masa berkabung adalaha perasaan ikhlas. Seorang bijak
pasti akan segera berkomentar, sangat perlu menyadari bahwa hidup ini memang
tidak kekal. Menyadari sebuah kehilangan adalah proses yang wajar dan sangat
alami sangat penting untuk mengakhiri this grieving period. Tapi kenyataan tidak
akan pernah semudah itu.
Semoga kita semua mudah mengikhlaskan banyak hal. Saya juga, semoga bisa mengakhiri My Grieving Period tahun ini, segera.
Komentar
Posting Komentar