Sosial Media, Keberagaman dan Suara-suara Dangkal

 “When you know you can do something, and you feel good about yourself, you do not have to devalue others.” ― John Patrick Hickey-

 

Saat ini kita hidup dimana sosial media perkembangannya sudah tak terbendung. Media yang dulu hanya memungkinkan orang sebagai pembaca kini dengan mudah orang bisa membagikan informasi, berkontribusi memproduksi informasi dan juga membuat konten sendiri. Mengingat peluang semacam ini, sosial media menjadi pilihan efektif untuk menuangkan banyak hal yang bermanfaat atau sebaliknya. Adanya follower alias pengikut dalam sosial media menjadi keunggulan tersendiri. Pengguna sosial media yang membagikan ide atau informasi yang bermanfaat memungkinkan mereka eksis.

Akhirnya sosial media juga dianggap sebagai kebutuhan karena kecepatannya dalam menyebarkan informasi. Isu-isu memungkinkan bisa segera direspon maupun ditindaklanjuti melalui sosial media. Institusi-institusi yang sudah melek IT bahkan juga mulai membuat akun-akun resmi untuk kebutuhan mereka. Tentu saja ini akan memberi ruang untuk mengakses sesuatu menjadi lebih mudah.

Tawaran lain, sosial media ini ternyata juga tak hanya menjadi alat, tetapi juga terus berusaha memenuhi kebutuhan manusia akan informasi. Bentuk teks yang sudah dianggap kuno digantikan bentuk lain seperti suara dan gambar. Pendek kata, video akan menjadi tren informasi masa depan. Pengembang sosial media berlomba memenuhi ini, dan celakanya banyak pengguna sosial media ternyata hanya mengikuti arus tren ini.

 

Sosial Media dan Gerakan Sosial

Sosial media banyak manfaatnya, sepertinya ini tidak bisa ditampik. Tetapi, dengan catatan penggunaannya harus sesuai netiket (Netizen dan etiket). Bahkan pada era ini, sosial media menjadi alat untuk gerakan-gerakan sosial. Katakanlah awal-awal tren sosial media, di Indonesia yang paling booming adalah “Koin Untuk Prita.” Prita Mulyasari yang dituntut rumah sakit Omni Internasional karena dianggap mencemarkan nama baik rumah sakit. Prita didenda sejumlah sejumlah 204 juta rupiah dan orang-orang membantu menyebarkan informasi untuk menggalang dana tersebut dari sosial media.

Gerakan sosial lain juga mulai menggunakan media sosial ini sebagai alat. Di isu pendidikan misalnya, melalui akun twitter @PengajarMuda, para relawan Indonesia mengajar aktif mensosialisasikan tentang gerakan tersebut. Di bidang kesehatan misalnya ada @PencerahNusa atau @RumahCemara untu isu-isu HIV AIDS nya. Baru-baru juga gerakan tentang keberagaman yaitu Sabang Merauke melalui akun sosial media nya @SabangMeraukeID juga aktif menyebarkan aktivitas mereka. Sabang Merauke mengajak anak-anak usia sekolah menengah pertama untuk merasakan tinggal dengan keluarga berbeda etnis ataupun keyakinan untuk kampanye keberagaman ini.

Selain gerakan sosial, individu-individu ternyata juga mulai membebek. Atau bahkan mereka sebenarnya sudah lebih lama membangun citra mereka melalui sosial media. Sebagai individu yang bebas mengeluarkan pendapat, pada taraf ini juga sangat mungkin sosial media dimanfaatkan sebagai semacam propaganda.

 

Kedangkalan Suara

Ketika sosial media mempromosikan tentang gerakan, mereka membicarakan tentang sebuah kelompok sosial untuk tujuan tertentu. Seseorang yang tidak memiliki kapasitas atau tidak menyetujui isu tersebut bisa dengan bebas tak perlu merespon terkait gerakan tersebut. Tetapi apabila individu-individu yang mengambil panggung sosial media, orang akan bias memandang apa yang mereka bagikan di sosial media. Ini tidak hanya terjadi di sosial media, di media cetak pun terjadi. Orang akan mempercayai sebuah berita tentang sosok tertentu meskipun berita tersebut berbayar.

Seperti yang baru-baru terjadi di sosial media, misalnya Fahira Idris, wakil ketua komite III DPD RI dengan celotehannya di twitter yang dianggap mengandung SARA. Fahira Idris termasuk salah satu senator yang rajin menanggapi isu-isu yang dia minati melalui akun twiternya @fahiraidris.  Pada bulan Maret lalu Fahira melakukan twitmob, melakukan twit yang dilakukan oleh banyak orang bersama-sama menggunakan tanda pagar #PropagandaLiberal. Salah satu Twit Fahira seperti berikut ini.

"Target Liberal untuk membolehkan orang Kafir memimpin di wilayah mayoritas umat Muslim. #PropagandaLiberal"

"Karena, hanya Islam yang suci dan ulama mulia yang boleh masuk ke dalam politik agar tidak dikotori para politisi durjana. #PropagandaLiberal"

Apa yang dilakukan Fahira mengundang bullying dari para Netizen. Bahkan salah satu tokoh yang pernah berjuang mendorong keterlibatan perempuan dalam politik, mengkritik Fahira dengan keras. Fahira sebagai tokoh public dianggap tidak pantas berbicara hal-hal yang SARA. Apalagi membuat perempuan bisa terlibat dalam politik itu tak semudah membalikkan telapak tangan, sepantasnya dia memberikan informasi yang bermanfaat. Dan apa yang dilakukan Fahira itu ternyata bukan yang pertama.

Sebelum Fahira Idris juga ada Jonru Ginting. Jonru menuduh Prof. Quraish shihab sebagai seorang syiah. Jonru tidak hanya mendapatkan bullying dari pengguna sosial media, tetapi juga mendapat cap tertentu. Jonru dianggap sebagai orang menuliskan hal-hal di sosial media dengan tidak berdasar, hingga sampai ada istilah “menjonru”. Selain itu pernyataan Jonru juga menjadi debat panjang soal syiah dan liberal. Kemudian, terakhir, ada Tere Liye yang bias menuliskan keindonesiaan.

 “Indonesia itu merdeka, karena jasa-jasa tiada tara para pahlawan yang sebagian besar diantara mereka adalah ulama-ulama besar, juga tokoh-tokoh agama lain. Orang-orang religius, beragama.

Apalah ada orang komunis, pemikir sosialos, aktivis HAM, pendukung liberal, yang bertarung hidup mati melawan serdadu Belanda Inggris atau Jepang? Silakan cari.

Anak muda, bacalah sejarah dengan baik. Jangan terlalu terpesona dengan paham-paham luar, seolah itu keren sekali; sementara sejarah dan kearifan bangsa sendiri dilupakan.

*Tere Liye “

 

Jika kata orang you are what you share, jadi apapun yang orang bagikan  di sosial media akan menjadi sisi penilaian orang tersebut. Ketika public membully karena kicauan yang dianggap tidak sesuai dengan nilai-nilai umum, ya itulah mereka. Ketika mereka dulu banyak memiliki follower  yang simpatik, tapi akhirnya toh para pengikut tahu seberapa dalam para selebtwit ini.

Pada akhirnya, karena sosial media ini sifat informasinya dangkal, sementara kecepatan menyebarnya tinggi. Dalam beberapa detik orang dimanapun sudah bisa membaca apa yang ditulis di sosial media serta mengarsipkannya. Orang-orang yang dengan mudah menelan informasi-informasi dalam sosial media akan cenderung terbawa bias pada hal-hal yang disuarakan melalui sosial media. Orang-orang yang mudah terprovokasi akan cenderung melakukan bullying. Karena itu, diperlukan orang-orang kritis dalam menggunakan sosial media.

Tapi satu hal yang pasti, melalui sosial media kita menjadi tahu, seberapa dalam sebenarnya orang-orang menghargai keberagaman.

 

“artikel ini diikutsertakan dalam Kompetisi Blog yang diselenggarakan oleh ICRS dan Sebangsa”

note: June 24, 2016

Komentar

Postingan Populer