Percakapan-percakapan yang Bertautan

 Berhubung lama gak ngegahul, saya sebenarnya kurang bahan buat nulis

 

Belakangan saya menghindari bertemu banyak orang atau menghadiri acara-acara. Ini berhubungan dengan semacam sindrome yang menjangkiti saya sejak setahun lalu. Akhir pekan lalu sempat membahas ini dengan kak Ditha, katanya syndrome semacam ini dialami orang lain juga dan bisa hilang dengan sendirinya selama masalahnya bukan kita yang membatasi diri. Niat awalnya juga pengen sih buat tulisan yang bermanfaat bagi banyak orang, tapi ujung-ujungnya gerutuan. Semoga dimaklumi ya gengs #MerekamBali.

***

Dua hari yang lalu saya mengurus suatu keperluan yang membutuhkan informasi detail mengenai data diri saya beserta orang tua kandung. Agak merepotkan, kebetulan nama saya di tanda identitas dan tanda lahir serta ijazah ada perbedaan huruf. Ini membuat saya harus bolak-balik untuk bisa lolos administrasi. Malamnya saya langsung fotocopy beberapa keperluan, salah satunya ijazah. Beberapa ijazah ternyata belum dilaminating, agar tidak kelupaan kedepan sekalian saya melaminating ijazah dan surat keterangan danum hari itu. Tempat fotocopy itu tidak ramai, hanya 2-3 orang datang dan pergi. Seorang laki-laki yang tampak tidak jauh usianya dengan saya tiba-tiba membuka percakapan. “alumni SMA 2 ya?” katanya. Sembari menunggu, percakapan kami pun berlanjut. Dia adalah kakak kelas saya satu tahun di SMA saya.

Mula-mula kami membahas kondisi sekolah, yang katanya belum ada pengganti kepala sekolah. Kepala sekolah sebelumnya sudah pensiun. Kandidat penggantinya baru ada satu, seorang guru biologi. Katanya juga saat ini SPP yang dibayarkan tiap siswa sudah naik, lebih dari empat ratus ribu. Kami sama-sama menggerutu, pasalnya jaman kami SMA SPP masih 120an ribu. Tapi memang sekolah kami yang ada di bilangan jalan jenderal Sudirman itu terus-menerus melakukan pembangunan. Kini megahnya sudah menyaingi kampus Ekonomi Udayana yang tak jauh jaraknya.

Hal lain yang dibahas antar orang asing yang memiliki ikatan emosi dengan organisasi yang sama pada umumnya adalah pekerjaan. Ya, tentu saja, hal ini tidak tertinggal. Setelah menanyakan jenis pekerjaan masing-masing, tidak jarang berujung curhat. Jadi kakak kelas saya ini bekerja di Bank Permata. Percakapan kami memang sebentar tapi dia bercerita secuwil kehidupannya sebagai bankir. Mula-mula ceritanya mengenai kegelisahan tentang bagaimana jaman sekarang sulit mendapatkan pekerjaan. Kemudian dia mulai menceritakan tentang staf bank yang sebagian besar adalah pegawai outsourcing. Saya mengiyakan, ini juga terjadi di bank-bank lainnya. Kami kemudian membahas bagaimana perusahaan memang akan diuntungkan, karena tak perlu membayar tunjangan hari tua atau tunjangan lain-lain setelah para staff berhenti bekerja. Dia menambahkan bahwa, sebenarnya perusahaan tidak mau ambil pusing soal staff keluar-masuk yang sangat tinggi. Ini berhubungan dengan efisiensi jumlah nominal yang mesti dikeluarkan untuk memberikan pelatihan pada karyawan baru.

Ada kekhawatiran yang sama diantara kami saat menghubungkannya dengan harga-harga yang terus merangkak. Sampai kemudian diujung percakapan dia bilang, “untungnya di kantor saya masih ada tingkatan kinerja, jadi masih ada yang bikin buat semangat,” katanya. Dia juga sempat memberitahu saya seperti ini, “kamu tahu, pegawai di Harris Hotel itu dari mulai tukang masak dan bersih-bersih saja pegawai outsourcing lho.” Outsourcing memang bukan hal yang baru lagi, tapi selalu aktual dibicarakan.

Esoknya, menjelang pulang kantor saya sempat bercakap-cakap dengan Mbok Yuli. Tiba-tiba saja kami membahas lembaga-lembaga yang “tak tersentuh” soal perilaku suap-menyuapnya. Percakapan kami tiba pada lembaga pertanahan, BTPN. Kemudian berlanjut mengenai Jual-beli tanah yang rentan penipuan hingga suap-menyuap notaris. Ini memang banyak terjadi. Percakapan diakhiri dengan kecemasan yang lain, “bisa gak ya nanti aku punya investasi tanah atau rumah gitu?” dan kami hanya membatin dengan  tertawa tanpa makna.

Percakapan-percakapan ini agak kontradiktif dengan kondisi-kondisi di sekitar kami. Pembangunan pariwisata dan pembangunan daerah hunian seolah saling berlomba. Katanya dua jenis pembangunan ini saling melengkapi, pariwisata untuk menyerap tenaga kerja dengan hotel-hotel yang terus menjamur. Ya, jangan pikir pembangunan pariwisata itu tentang perbaikan atau penambahan fasilitas dan wahana baru di tempat-tempat yang sudah ada. Insting para kapitalis itu inginnya ya mereka bikin wilayah baru, mengurug pulau salah satunya. Dengan menjual nama Bali yang sudah terkenal itu mereka ingin meraup keuntungan sebesar-besarnya. Mereka juga berlomba membangun banyak hotel-hotel ala city hotel agar harga-harga bisa bersaing dan makin banyak mengundang para wisatawan.

Lalu pembangunan daerah hunian sebagai pelengkap untuk tempat tinggal para pekerja. Daerah hunian baru ini rata-rata di pinggiran kota, sebagian besar dulunya daerah pertanian. Ketika tahun 2002-2005 daerah yang menjadi sasaran hunian ini daerah Dalung dan beberapa wilayah di Denpasar Barat. Saat ini daerah tersebut sudah penuh sesak menjadi area hunian dan daerah komersil. Saat ini harga-harga hunian ini juga bersaing di kisaran diatas 300 jutaan untuk daerah pinggiran kota. Dan pembangunan ini tidak hanya mengambil banyak jalur hijau, tapi juga meningkatkan potensi orang-orang yang tak lagi memiliki tanah untuk menjadi buruh nantinya.

Saat para pekerja pariwisata hanya menjadi buruh outsourcing, dan hunian yang layak dalam jangka waktu jauh kedepan adalah semacam kemustahilan. Sebenarnya pembangunan yang membabibuta ini hanya akan menguntungkan segelintir orang.

 

Ps. Maaf ya saya jarang upload foto di Blog, hemat space sebelum ganti.com lah. Besok saya fotokan banner satu perumahan baru yang akan dibuka

Denpasar, 12 Oktober 2016

Komentar

Postingan Populer