Lingkungan Desa dan Para Urban
Awal pekan lalu saya menyusuri sisi lain jalanan desa tempat saya tinggal
Saya mampir ke kantor desa untuk mencari surat keterangan yang diperlukan untuk melengkapi suatu dokumen terkait kesalahan huruf pada identitas saya hari Senin kemarin. Hari itu saya belum mendapatkannya, karena diperlukan mencari surat keterangan dari kelian dinas. Sebagai penduduk urban, kami hanya berhubungan dengan kelian Dinas bukan kelian adat. Tiba-tiba terlintas dalam pikiran untuk tidak berbalik kearah jalan besar, saya mengikuti jalanan desa yang di paping, bukan aspal seperti di ruas-ruas jalan lainnya. Sebenarnya saya ingin mencari jalanan yang bisa langsung tembus ke jalan terdekat rumah saya, ternyata mentok di area persawahan. Di jalanan tersebut berderet-deret rumah tradisional Bali, yang artinya di daerah ini tinggal orang-orang asli desa kami. Ini pertama kalinya saya melalui jalanan ini, saya mencoba masuk beberapa gang dan keluar jalanan besar lagi. Sebenarnya tidak perlu ada yang ditakjubkan juga, karena saya memang di Bali. Hanya saja saat itu saya sedang berpikir betapa orang urban seperti saya dan orang asli ini seperti benar-benar berjarak, tidak peduli keberadaan satu sama lain.
Saya tinggal di daerah pinggiran Denpasar, ya hitungannya sih masih Desa. Kami pindah tahun 2007 lalu, saat daerah ini masih sejuk, siang hari saja seringkali dingginya terasa. Tapi sejak 3-4 tahun terakhir panasnya hampir sama dengan area jalan Sesetan. Sejak saat itu memang pembangunan semakin menggeliat di daerah ini, terutama pembangunan area pemukiman. Saat itu memang nilai property di daerah ini masih seratus jutaan, hingga sekarang sudah melangit dalam hitungan dibawah sepuluh tahun. Jadilah, sekitar dua atau tiga desa terdekat tempat tinggal saya penuh dengan area pemukiman. Penduduk asli di dekat tempat tinggal saya umumnya berada di pinggiran jalan besar, sementara kami kaum urban (termasuk sesama orang Bali dari daerah lain) tinggal agak masuk kedalam karena umumnya yang diubah menjadi area pemukiman ini dulunya persawahan. Tinggal di area pemukiman yang dihuni oleh banyak pendatang seperti ini, saya pribadi merasa tidak menjadi minoritas. Bahkan sesungguhnya di perumahan, kami juga memiliki banjar dinas yang menjalankan fungsi-fungsinya sebenarnya.
Kami hidup berdampingan dan menjalani kehidupan masing-masing, tanpa saling peduli. Kaum urban dengan pekerjaan mereka kebanyakan di sector jasa atau usaha, sementara penduduk asli sebagian besar beternak, berdagang dan bertani. Kami sering bersinggungan, tanpa saling sapa dan saling ingin tahu. Untuk urusan administrasi, desa dinas melayani sama adilnya antara kaum urban maupun masyarakat adat, sementara desa adat tetap berjalan sebagaimana mestinya. Sesekali memang ada masalah, terutama saat ada pungutan-pungutan tanpa ada sosialisasi pada kami sebelumnya. Atau warga asli yang mengambil, misal buah kelapa atau tanaman lain di depan area perumahan orang karena merasa pohon-pohonan itu tumbuh di area desanya mereka bebas mengambilnya.
Satu-satunya keuntungan yang bisa diambil dari banyaknya kaum urban ini sebenarnya adalah “suara” dalam pemilihan umum. Kami yang memiliki KTP tentunya memiliki hak suara untuk pemilihan apapun, hanya saja sebenarnya saya sendiri bingung saat harus memilih. Seperti kira-kira satu setengah bulan yang lalu, desa kami mengadakan pemilihan kepala desa. Ada tiga calon yang terpampang di baliho yang dipasang didepan perumahan. Tetapi kami sekeluarga tidak mengenal orang-orang tersebut tentu saja. Akhirnya saya dan ibu memutuskan tidak datang ke TPU, sementara adik saya datang memilih karena disarankan oleh temannya. Beberaa orang menyarankan seperti ini, “pilih saja calon yang dari banjar gunung, nanti kita dekat kalau ada keperluan-keperluan,” sebegitu pragmatisnya kaum urban ini. Banjar gunung ini banjar yang bersebelahan dengan banjar adat tempat tinggal saya. Beberapa waktu lalu saat pemilihan legislative daerah, saya juga tidak memilih karena tidak ada nama yang dikenal.
Entahlah, tulisannya jadinya ngalor ngidul, hanya ingin mengeluarkan unek-unek. Menjadi pendatang kadang merasa menjadi minoritas, karena banyak kaum urban yang lain jadi seperti menjadi komunitas tersendiri. Komunitas yang terpisah dari lingkungan sekitarnya, meskipun takkan bisa lepas dari strukturnya. Tentu saja sebagai opini pribadi, ini hanyalah sebuah refleksi.
Denpasar, 5 Oktober 2016
Komentar
Posting Komentar